Setiap mulainya tahun ajaran baru, banyak orangtua
sibuk mendorong sang batita dan balita agar segera masuk sekolah. Ternyata
masalah tidak berakhir setelah niat – nya kesampaian, karena sang batita dan
balita kok malah rewel dan nangis
terus....pengasuhnya harus kelihatan olehnya..kalau tidak, bisa panik.... Ada
pula yang ngadat nggak mau sekolah ...Ada pula yang susah menyesuaikan diri
dengan lingkungannya, mojok terus dan membisu, kalau didekati guru malah
ketakutan.....Sementara itu, ada pula orangtua yang pusing karena mendapat
laporan guru kalau anaknya suka memukuli teman di kelas.....
|
|
|
|
Problem tersebut banyak dialami oleh anak-anak terutama pada saat mereka
menghadapi situasi, lingkungan atau orang baru. Berbagai sikap dan perilaku
aneh kemudian muncul sebagai reaksi terhadap ketidaknyamanan yang
dirasakannya. Namun demikian, tidak setiap anak mengalaminya karena ada pula
yang mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan bahkan bisa menjalin
komunikasi yang interaktif dengan teman-teman serta gurunya. Sebenarnya,
keberadaan problem tersebut bisa menjadi pertanda adanya masalah psikologis
yang harus dicermati oleh orangtua agar bisa diketahui faktor penyebab dan
strategi yang bisa dilakukan untuk menanganinya agar problem ini tidak sampai
berlarut-larut dan mengganggu perkembangan psikologis dan kemampuan sosial
sang anak.
|
|
|
|
Berawal dari Pola Hubungan Orangtua-Anak
|
|
|
|
Dari kaca mata
psikologi, banyak masalah yang dialami anak-anak antara lain bersumber dari
pola hubungan yang buruk antara orangtua dengan anak atau penyebab lain yang
akan dibahas kemudian. Dalam artikel ini akan dibahas seputar pentingnya
kelekatan hubungan yang positif antara anak dengan orangtua dan pengaruhnya
bagi perkembangan psikologis sang anak.
|
|
|
|
|
Apakah yang disebut kelekatan ?
|
|
|
|
Banyak orang takut jika kelekatan antara bayi dengan ibunya bisa membuat
anak jadi “bau tangan”, manja, dan cengeng sehingga muncul nasehat-nasehat
seperti :
|
|
kalau anak menangis, biarkan
saja...tidak usah ditanggapi...nanti juga diam sendiri...dia cuma minta
perhatian...Latihlah disiplin...mereka sekali-sekali harus dikerasi supaya
tidak manja....Jangan sering-sering memeluk anak, nanti dia bisa menjajah
orangtuanya....Jangan sering-sering mencium anak, nanti dia jadi manja...Bayi
jangan sering-sering dipeluk atau digendong.....taruh saja di tempat tidur
biar tidak bau tangan.....
|
|
|
|
Begitulah nasehat-nasehat yang sering diperdengarkan pada calon ibu atau
ibu-ibu muda kita. Nasehat tersebut kerap kali membuat mereka jadi bingung
karena pada prakteknya sering mengalami konflik batin, antara keinginan untuk
memberi perhatian penuh dengan kekhawatiran kelak anak jadi manja atau tidak
tahu diri.
|
|
|
|
Para ahli psikologi perkembangan dewasa ini makin menilai secara kritis
pentingnya kelekatan (positif) antara anak dengan orangtua. Kelekatan adalah
sebuah proses berkembangnya ikatan emosional secara resiprokal (timbal balik)
antara bayi/anak dengan pengasuh (orangtua). Kelekatan yang baik dan sehat dialami seorang bayi yang
menerima kasih sayang yang stabil dari kehadiran orangtua yang konsisten;
sehingga bayi atau anak dapat merasakan sentuhan hangat, gerakan lembut,
kontak mata yang penuh kasih dan senyuman orangtua.
|
|
|
|
Apakah
manfaat dari hubungan kelekatan antara anak-orangtua ?
|
|
|
|
Rasa percaya diri
|
|
Perhatian
dan kasih sayang orangtua yang stabil, menumbuhkan keyakinan bahwa dirinya
berharga bagi orang lain. Jaminan adanya perhatian orangtua yang stabil,
membuat anak belajar percaya pada orang lain.
|
|
Kemampuan
membina hubungan yang hangat
|
|
Hubungan
yang diperoleh anak dari orangtua, menjadi pelajaran baginya untuk kelak
diterapkan dalam kehidupannya setelah dewasa. Kelekatan yang hangat, menjadi
tolok ukur dalam membentuk hubungan dengan teman hidup dan sesamanya. Namun
hubungan yang buruk, menjadi pengalaman traumatis baginya sehingga
menghalangi kemampuan membina hubungan yang stabil dan harmonis dengan orang
lain.
|
|
Mengasihi
sesama dan peduli pada orang lain
|
|
Anak
yang tumbuh dalam hubungan kelekatan yang hangat, akan memiliki sensitivitas
atau kepekaan yang tinggi terhadap kebutuhan sekitarnya. Dia mempunyai
kepedulian yang tinggi dan kebutuhan untuk membantu kesusahan orang lain
|
|
Disiplin
|
|
Kelekatan
hubungan dengan anak, membuat orangtua dapat memahami anak sehingga lebih
mudah memberikan arahan secara lebih proporsional, empatik, penuh kesabaran
dan pengertian yang dalam. Anak juga akan belajar mengembangkan kesadaran
diri, dari sikap orangtua yang menghargai anak. Sikap menghukum hanya akan
menyakiti harga diri anak dan tidak mendorong kesadaran diri. Anak patuh
karena takut.
|
|
Pertumbuhan
intelektual dan psikologis
|
|
Bentuk
kelekatan yang terjalin, kelak mempengaruhi pertumbuhan fisik, intelektual
dan kognitif serta perkembangan psikologis anak.
|
|
|
|
Faktor Penyebab Gangguan Kelekatan Pada Anak
|
|
|
|
Banyak faktor yang menyebabkan seorang anak tidak mendapatkan kelekatan
kasih sayang yang tulus, hangat dan konsisten dari kedua orangtuanya. Dan
menurut ahi psikologi perkembangan, hingga usia 2 tahun adalah masa paling
kritis. Erik Erikson, seorang bapak perkembangan berpendapat, masalah yang
terjadi dalam masa-masa tersebut berpotensi mengganggu proses perkembangan
psikologis yang sehat.
|
|
|
|
Perpisahan yang tiba-tiba antara anak dengan orangtua/pengasuh
|
|
Perpisahan
traumatik bagi seorang anak bisa berupa : kematian orangtua, orangtua dirawat
di rumah sakit dalam jangka waktu lama, atau anak yang harus hidup tanpa
orangtua karena sebab-sebab lain
|
|
Penyiksaan
emosional (dan pengabaian), penyiksaan fisik atau pun penyiksaan seksual
|
|
Setiap anak rentan terhadap penyiksaan emosional maupun fisik dari
orangtua/pengasuh sebagai bagian dari pola asuh dan interaksi sehari-hari
(lihat artikel: Penyiksaaan
& Pengabaian Terhadap Anak). Sistem pendidikan tradisional yang
seringkali menggunakan cara hukuman (baik fisik maupun emosional) untuk
mendidik dan mendisiplinkan anak. orangtua sering bersikap menjaga jarak dan
bahkan ada yang membangun image “menakutkan” agar anak hormat dan
patuh pada mereka. Padahal cara ini malah membuat tumbuh menjadi pribadi yang
penakut, mudah berkecil hati dan tidak percaya diri. Anak akan merasa bukan
siapa-siapa atau tidak bisa berbuat apa-apa tanpa orangtua.
Sementara
itu, penyiksaan seksual tidak mustahil terjadi pada anak, yang dilakukan oleh
orang dewasa di sekitarnya, entah itu orangtua maupun anggota keluarga atau
pihak lain. Hal ini kemungkinan terjadi karena orang tersebut mengalami
problem psikologis yang menyebabkan dirinya mengalami hambatan pengendalian
dorongan seksual.
|
|
Pengasuhan
yang tidak stabil
|
|
Pengasuhan yang melibatkan terlalu banyak orang,
bergantian, tidak menetap oleh satu/dua orangtua, menyebabkan ketidakstabilan
yang dirasakan anak, baik dalam hal “ukuran” cinta kasih, perhatian,
kelekatan dan kepekaan respon terhadap kebutuhan anak. Anak jadi sulit
membangun kelekatan emosional yang stabil karena pengasuhnya selalu
berganti-ganti tiap waktu. Situasi ini kelak mempengaruhi kemampuannya
menyesuaikan diri karena anak cenderung mudah cemas dan kurang percaya diri
(merasa kurang ada dukungan emosional).
|
|
Sering
berpindah tempat/domisili
|
|
Seringnya
berpindah tempat membuat proses penyesuaian diri anak menjadi lebih sulit,
terutama bagi seorang batita atau balita. Situasi ini akan menjadi lebih
berat baginya jika orangtua tidak memberikan rasa aman dengan mendampingi
mereka dan mau mengerti atas sikap/perilaku anak-anak yang mungkin saja jadi
“aneh” akibat dari rasa tidak nyaman saat harus menghadapi orang baru. Tanpa
kelekatan yang stabil, reaksi negatif anak (yang sebenarnya normal) akhirnya
menjadi bagian dari pola tingkah laku yang sulit diatasi
|
|
Ketidakkonsistenan
cara pengasuhan
|
|
Banyak
orangtua yang tidak konsisten dalam mendidik anak. Misalnya, pada suatu saat
orangtua menghukum anak dengan sangat keras, tapi di lain waktu (mungkin
karena merasa bersalah) memenuhi semua keinginan anak (misal membelikan
mainan mahal). Ketiadaan kepastian sikap orangtua, membuat anak sulit
membangun kelekatan tidak hanya secara emosional tetapi juga secara fisik.
Sikap orangtua yang tidak dapat diprediksi, membuat anak bingung, tidak yakin
dan sulit mempercayai (dan patuh) pada orangtua.
|
|
Problem
psikologis yang dialami orangtua
|
|
orangtua
yang mengalami problem emosional atau psikologis sudah tentu membawa pengaruh
yang kurang menguntungkan bagi anak. Hambatan psikologis, misalnya gangguan
jiwa, depresi atau problem stress yang sedang dialami orangtua tidak hanya membuat
anak tidak bisa berkomunikasi dan ngobrol enak dengan orangtua, tapi
membuat orangtua kurang peka terhadap kebutuhan dan masalah anak. Bahkan,
orangtua sering terlalu sensitif dan emosional, menjadi lebih pemarah dan
kurang sabar menanggapi perilaku anak-anak. Tidak jarang anak dimarahi atau
dipukul, disiksa, atau diberi perlakuan yang sangat tidak proporsional
dibandingkan dengan “kenakalan” yang dilakukan. Tindakan tersebut beresiko
menghancurkan harga diri seorang anak.
|
|
Problem
neurologis/syaraf
|
|
Ada
kalanya, gangguan syaraf yang dialami anak bisa mempengaruhi proses persepsi
atau pemrosesan informasi anak tersebut, sehingga ia tidak dapat merasakan
adanya perhatian yang diarahkan padanya. Contohnya, ada kasus seorang bayi
yang rewel terus dan restless karena dalam tubuhnya terdapat unsur cocaine,
atau zat addictive yang sudah mempengaruhi pertumbuhan struktur syaraf
otak sejak masa konsepsi (pembentukan jaringan). Problem ini bisa disebabkan
masalah alkoholisme atau obat-obatan yang biasa dikonsumsi orangtua sebelum
dan selama masa kehamilan; atau karena efek samping obat-obatan yang harus
diminum anak akibat penyakit yang sedang dideritanya.
|
|
|
|
Dampak Problem Kelekatan
|
|
|
|
Anak-anak yang
kebutuhan emosionalnya tidak terpenuhi akibat problem kelekatan yang dialami,
berpotensi mengalami masalah intelektual, masalah emosional dan
masalah moral dan sosial di kemudian hari.
|
|
|
|
Masalah Intelektual |
|
1. Mempengaruhi kemampuan pikir seperti halnya memahami
proses “sebab-akibat”
|
|
Ketidakstabilan atau ketidakkonsistenan sikap orangtua, mempersulit anak
melihat hubungan sebab-akibat dari perilakunya dengan sikap orangtua yang
diterimanya. Dampaknya akan meluas pada kemampuannya dalam memahami kejadian
atau peristiwa-peristiwa lain yang dialami sehari-hari. Akibatnya, anak jadi
sulit belajar dari kesalahan yang pernah dibuatnya.
|
|
2. Kesulitan belajar
|
|
Kurangnya kelekatan dengan orangtua, membuat anak lamban dalam memahami
baik itu instruksi maupun pola-pola yang seharusnya bisa dipelajari dari
perlakuan orangtua terhadapnya atau kebiasaan yang dilihat/dirasakannya.
|
|
3. Sulit mengendalikan dorongan
|
|
Kebutuhan emosional yang tidak perpenuhi, membuat anak sulit menemukan
kepuasan atas situasi / perlakuan yang diterimanya, meski bersifat positif.
Ia akan terdorong untuk selalu mencari dan mendapatkan perhatian orang lain.
Untuk itu, ia berusaha sekuat tenaga, dengan caranya sendiri untuk
mendapatkan jaminan bahwa dirinya bisa mendapatkan apa yang diinginkan.
|
|
|
|
Masalah Emosional |
|
1. Gangguan bicara
|
|
Menurut sebuah hasil penelitian, problem kelekatan yang
dialami anak sejak usia dini, dapat mempengaruhi kemampuan bicaranya. Dalam
dunia psikologi, hingga usia 2 tahun dikatakan sebagai masa oral, dimana
seorang anak mendapat kepuasan melalui mulut (menghisap – mengunyah makanan
dan minuman). Oleh sebab itu lah proses menyusui menurut para ahli merupakan
proses yang amat penting untuk membangun rasa aman yang didapat dari pelukan
dan kehangatan tubuh sang ibu. Ada kemungkinan anak yang mengalami hambatan
pada masa ini akan mengalami kesulitan atau keterlambatan bicara.
Memang,
secara psikologis anak yang merasakan ketidaknyamanan akan kurang percaya
diri dalam mengungkapkan keinginannya. Atau, kurangnya kelekatan tersebut
membuat anak berpikir bahwa orangtua tidak mau memperhatikannya sehingga ia
lebih banyak menahan diri. Akibatnya, anak jadi tidak terbiasa mengungkapkan
diri, berbicara atau mengekspresikan diri lewat kata-katanya. Ada pula
penelitian yang mengatakan, bahwa melalui komunikasi yang hangat seorang ibu
terhadap bayinya, lebih memacu perkembangan kemampuan bicara anak karena si
anak terpacu untuk merespon kata-kata ibunya.
|
|
2. Gangguan pola makan
|
|
Ada banyak orangtua yang kurang responsif / kurang tanggap
terhadap tangisan bayinya. Mereka takut jika terlalu menuruti tangisan
bayinya, kelak ia akan jadi anak manja dan menjajah orangtua. Padahal,
tangisan seorang bayi adalah suatu cara untuk mengkomunikasikan adanya
kebutuhan seperti halnya rasa lapar atau haus. Ketidakkonsistenan orangtua
dalam menanggapi kebutuhan fisiologis anak, akan ikut mengacaukan proses
metabolisme dan pola makan anak.
|
|
3. Perkembangan konsep diri yang negatif
|
|
Ketiadaan perhatian orangtua, sering mendorong anak
membangun image bahwa dirinya mandiri dan mampu hidup tanpa bantuan
siapa pun. Image itu berusaha keras ditampilkan untuk menutupi
kenyataan yang sebenarnya. Padahal, dalam dirinya tersimpan ketakutan, rasa
kecewa, marah, sakit hati terhadap orangtua, sementara ia juga menyimpan
persepsi yang buruk terhadap diri sendiri. Ia merasa tidak diperhatikan,
merasa disingkirkan, merasa tidak berharga sehingga orangtua tidak mau
mendekat padanya (dan, memang ia juga merasa tidak ingin didekati)
Tanpa
sadar semua perasaan itu diekspresikan melalui tingkah laku yang aneh-aneh,
yang orang menyebutnya “nakal”, “liar”, “menyimpang”. Mereka juga terlihat
suka menuntut secara berlebihan, suka mencari perhatian dengan cara-cara yang
negatif, sangat tergantung, tidak bisa memperhatikan orang lain (tapi
menuntut perhatian untuk dirinya), sulit mencintai dan menerima cinta dari
orang lain.
|
|
|
|
Masalah
Emosional
|
|
Anak
akan sulit melihat mana yang baik dan tidak, yang boleh dan tidak boleh, yang
penting dan kurang penting, dari keberadaan orangtua yang juga tidak bisa
menjamin ada tiadanya, yang tidak dapat memberikan patokan moral dan norma
karena mereka mengalami kesulitan dengan dirinya sendiri, kesulitan dalam
memenuhi kebutuhan emosional mereka sendiri, kesulitan dalam mengendalikan
dorongan mereka sendiri. Akibatnya, anak hanya meniru apa yang dilihatnya
dari orangtua dan mencari cara agar tidak sampai terkena hukuman berat.
Tidak jarang anak-anak
tersebut memunculkan sikap dan tindakan seperti : suka berbohong (yang sudah
tidak wajar), mencuri (karena ingin mendapatkan keinginannya), suka merusak
dan menyakiti (baik diri sendiri maupun orang lain), kejam, dan menurut
sebuah penelitian, mereka cenderung tertarik pada darah, api dan benda tajam.
|
|
|
|
Bagaimana Membangun Kelekatan yang Baik Dengan Anak ? |
|
|
|
Kesiapan mental
untuk menjadi orangtua
|
|
Memiliki anak membawa implikasi yang luas, tidak hanya
merubah peran dari suami / istri, menjadi seorang ayah / ibu. Ada komitmen
dan tanggung jawab yang harus disadari dan dijalankan. Oleh sebab itu, perlu
“hati dan pikiran” yang tenang untuk menjalani proses menjadi orangtua. Hati
dan pikiran yang tenang, akan menciptakan rasa nyaman pada janin yang sedang
dikandung; dan, jangan lupa bahwa ketenangan dan kesiapan hati tersebut mendorong keseimbangan hormon yang
mendukung proses kehamilan yang sehat. Selain itu, kesiapan mental juga
merupakan suatu kondisi yang diperlukan terutama untuk menghindari konflik
dan ketegangan yang bisa muncul di antara suami-istri akibat perubahan yang
terjadi. Kesiapan tersebut membuat masing-masing sadar dan berusaha menahan
diri untuk tidak saling menyakiti, karena dilandasi kesadaran, bahwa kedua
nya saling membutuhkan untuk saling menguatkan.
|
|
Ciptakan
komunikasi yang hangat sejak dini
|
|
Berkomunikasi
dengan anak tidak dimulai sejak anak lahir, melainkan sejak ia dalam
kandungan. Sejak itu proses kelekatan pun dimulai. Berbicaralah padanya meski
ia masih belum tampak secara lahiriah. Sapa lah dia, bernyanyilah untuknya
dan pelihara/pertahankan kestabilan
emosi. Sudah banyak penelitian yang menyatakan bahwa seorang anak bisa
memahami apa yang terjadi dalam diri sang ibu meski ia belum lahir. Hal itu
bisa dibuktikan dari munculnya kecenderungan tertentu yang ada pada anak,
misalnya pencemas, super sensitif atau pemarah – dihubungkan dengan persoalan
yang sedang dihadapi sang ibu pada masa dan pasca kehamilannya.
|
|
Upayakan
program menyusui
|
|
Proses
menyusui, bukan hanya sekedar memberikan ASI yang berkualitas. Namun menyusui
merupakan proses yang melibatkan dua belah pihak, bahkan tiga belah pihak :
suami – istri dan anak. Kegiatan menyusui merupakan moment yang sangat
ideal untuk membangun kontak batin yang erat, melalui kelekatan fisik dan
kontak mata yang intensif. Proses ini membutuhkan “hati” yang tenang dan
penuh kasih, karena produksi ASI akan terpengaruh oleh faktor fisik dan
emosional. Oleh sebab itu, perlu kerja sama yang baik dan sikap saling
memahami serta saling menghargai antara suami-istri agar segala persoalan
yang terjadi bisa diselesaikan dengan baik tanpa menyebabkan ketegangan dan
tekanan emosional yang mengganggu hubungan dengan anak.
|
|
Tanggapilah
tangisan bayi / anak secara positif
|
|
Banyak
orangtua yang menganggap bahwa tidak baik selalu menanggapi tangisan bayi, karena
bayi perlu dilatih untuk tidak menjadi manja dan supaya jantungnya kuat.
Memang, pada beberapa kasus pemikiran tersebut bisa diikuti, tapi tidak
selamanya. Karena, hanya melalui menangis–lah seorang bayi dapat
mengkomunikasikan ketakutannya, kelaparannya, kehausannya, keinginannya akan
kehangatan, keinginannya untuk dibelai, rasa tidak enak badan, kedinginan,
kepanasan dan rasa tidak enak yang lain. Jangan lupa, bayi adalah makhluk
paling tidak berdaya dan tidak berdosa, tidak punya maksud buruk. Jadi,
tangisannya adalah murni muncul dari kebutuhannya. Bayangkan, jika orangtua
menunda respon terhadap ketakutannya, maka bayi akan merasa frustrasi. Dari
situ lah ia juga belajar, bahwa orangtuanya tidak bisa memberikan jaminan
akan kasih sayang, bahwa dirinya tidak terlalu berharga untuk diperhatikan
kebutuhannya.
|
|
Upayakan
kebersamaan dalam keluarga inti
|
|
Jaman sekarang, banyak keluarga yang menggunakan jasa baby sitter untuk
mengasuh anak. Ironisnya, ada beberapa ibu rumah tangga yang tidak bekerja,
tidak mempunyai kegiatan apapun kecuali arisan, ke salon dan shopping, mempunyai banyak asisten dan pembantu –
namun anaknya sepenuhnya diurus oleh baby sitter. Tidaklah mengherankan jika
kelak antara dia dengan anaknya tidak terlihat suatu kelekatan yang positif
karena anaknya lebih nempel dengan ‘suster-nya. Situasi ini tidak
mendorong proses perkembangan psikologis dan identitas yang sehat. Anak tetap
melihat dirinya diabaikan oleh ibunya sementara sang ibu memperhatikan anak
melalui berbagai barang dan mainan yang dibeli atau pun uang jajan yang
berlebihan.
|
|
|
|
Kelekatan yang positif, membutuhkan kerja sama setiap angota keluarga.
Ciptakan waktu kebersamaan yang konsisten, dipenuhi perasaan tenang, senang
dan santai. Jika bepergian bersama, (dan jika memungkinkan), berlatihlah
sejak dini untuk tidak menyertakan
sang suster – agar anak terbiasa berada bersama dan dekat orangtua, agar anak
lebih dapat belajar dan berkomunikasi dengan orangtua, agar anak bisa merasakan
senangnya jalan-jalan dengan ‘mama-papa. Sementara itu, orangtua juga belajar
dari anaknya, dan melihat hasil didikannya selama ini melalui sikap dan
perilaku anak. Dengan demikian, orangtua bisa memahami perilakunya sendiri,
mana yang perlu diubah dan mana yang perlu ditingkatkan. (jp)
|
|
_____________________________
|
Kamis, 13 September 2012
Problem Kelekatan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar