|
Apakah anak saya bermasalah? Pertanyaan itu sering
sekali terdengar diucapkan oleh para orang tua, terutama para Ibu. Umumnya
mereka khawatir karena anak-anak mereka dinilai “berbeda” dengan rekan-rekan
mereka. Entah dari prestasinya, sikap dan perilakunya, sifatnya, sampai
dengan fisiknya. Jeli sekali pengamatan para orang tua, jika sudah menyangkut
perbedaan pada anak-anaknya. Selanjutnya, orang tua cenderung berpikir “anak
saya membutuhkan terapi” Artikel ini,
tidak mengajak pembaca untuk mengenal ciri-ciri anak bermasalah, namun
mengajak pembaca untuk memahami, dari mana munculnya keresahan tersebut.
Fakta versus
persepsi pribadi
Tidak semua perbedaan yang kita lihat
pada anak merupakan hal yang negatif, dan tidak semua juga positif. Orang tua
seringkali lupa, bahwa ada faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi perbedaan
setiap anak.
a. Faktor biologis & genetika (keturunan)
b. Faktor pola asuh
c. Faktor lingkungan
d. Faktor pendidikan
e. Faktor pengalaman (perjalanan dan pengalaman hidup
sehari-hari)
Tidak ada satu orang pun di dunia ini
yang memiliki kondisi persis sama, bahkan kakak beradik atau anak kembar sekali pun, mengalami
kondisi yang berbeda ketika mereka tumbuh dan dibesarkan. Intinya, tak ada
satu manusia pun di dunia yang segala sesuatunya sama persis.
Tidak setiap perbedaan berdampak
destruktif, negatif atau pun patologis. Tergantung dari kaca mata yang
melihatnya :
1. Orientasi fisiologis
Tuhan
menciptakan manusia, dengan berbagai variasi dan keunikannya. Semua itu memperindah
manusia itu sendiri. Namun, manusia sendiri lah yang seringkali terlalu ikut
campur tangan dalam merekayasa dirinya. Misalnya, melakukan operasi plastik
supaya wajahnya sama seperti artis penyanyi idolanya. Padahal, perbedaan itu
dimaksudkan untuk menandai ke-khas-an setiap manusia. Tuhan sudah memikirkan
jauh ke depan, agar manusia tidak membutuhkan kode, nomer urut atau pun abjad
untuk membedakan diri mereka satu dengan yang lainnya. Manusia bukan produk
pabrikan. Jadi, tidak heran jika anak punya tampang dan penampang yang
berbeda-beda, hasil sintesa antara orang tua plus, karya seni & rancangan
rencana Tuhan – serta dipengaruhi proses tumbuh kembang.
Kelainan fisik –
orang bilang “cacat”, sesungguhnya tidak dapat dikatakan sebagai sebuah
kekurangan sang manusia itu. Sebab, kepenuhan dan kesempurnaan manusia, tidak
bisa hanya dilihat dari kesempurnaan fisik, melainkan dari totalitas sebagai
manusia – lahir dan batin. Tiadanya satu unsur di dalam fisiknya, menandakan
adanya elemen lain yang menyempurnakan totalitas kemanusiaannya. Hanya,
sayangnya – orang sering berfokus pada kekurangan dan lupa akan elemen lain
yang Tuhan sudah “tanamkan” untuk menyempurnakan manusia ciptaan yang
dikasihiNya.
Demikian juga
dengan perbedaan fisik anak-anak. Banyak kombinasi unsur yang mempengaruhi
perbedaan itu, baik unsur keturunan, gizi maupun faktor “latihan” fisik
selama tumbuh kembang anak. Jika orang tua menginginkan anaknya sama persis
dengan anak lain yang dianggap “ideal”, maka segala sesuatunya (kondisi fisik
dan psikologis calon orang tua, termasuk nenek kakek yang melahirkan orang
tua, sifat dan karakter, ciri fisiologis, kondisi rumah tangga, makanan dan
gizi, dsb) harus sama persis jauh sebelum masa konsepsi. Apakah mungkin ?
Kita para orang
tua yang sering kali terlalu panik ketika melihat kecepatan perkembangan anak
kita berbeda dari yang lain. Bahkan, sangat cemas ketika melihat perbedaan
fisik anak (anak kita lebih kurus atau lebih pendek dari temannya) dan lupa –
bahwa perbedaan itu juga disebabkan oleh perbedaan kita, para orang tua.
Orang tua sering mudah menyalahkan anak dan menganggap anaknya “tidak
pandai”, malas, terlambat, terbelakang, lembek, lemah, jelek, dsb – dan
akhirnya mendorong / menuntut anak untuk cepat-cepat menyaingi – minimal menjadi
seperti ukuran ideal orang tua. Memang, dampak positifnya, bisa jadi ada
perbaikan gizi dan perbaikan kegiatan untuk pengembangan fisik. Tapi,
negatifnya, orang tua terlalu melihat pada hasil akhir dan lupa – luput
melihat keajaiban kecil yang terjadi setiap saat di masa perkembangan anak,
sesuai dengan proses kematangan (fisik-fisiologis) anak mereka sendiri. Orang
tua jadi tidak menghargai upaya anak, dan tidak menghargai campur tangan
Tuhan yang membantu tumbuh kembang anak karena orang tua terlampau ngotot dan
fokus pada hasil.
2. Orientasi psikologis
Manusia senang
sekali menilai dan membandingkan segala sesuatu, sepertinya tidak pernah
menemukan titik temu antara kepuasan, keinginan ideal dengan kenyataan.
Masalahnya, jika yang dinilai dan dibicarakan adalah “manusia” dan manusia
itu adalah “anak”, persoalan sering jadi rumit. Anak adalah ibarat sebuah
diamond – berlian, yang terdiri dari ratusan – bisa lebih – irisan, sudut,
facets. Setiap sinar yang masuk, akan menghasilkan dimensi warna tersendiri.
Dan, tidak ada diamond yang secara alami, memiliki irisan yang sama persis.
Pribadi,
identitas dan diri seorang anak, akan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor
di atas (pola asuh, dsb) dan faktor di atas juga sangat bervariasi dan
berbeda derajatnya satu sama lainnya. Contoh : pola asuh orang tua,
mempengaruhi sifat, karakter kepribadian anak. Pola asuh orang tua, pada
dasarnya merupakan sintesa – hasil dinamika dua pribadi (ayah dan ibu) dalam
mengasuh, mendidik dan menghadapi anak. Jika hendak diperdalam lagi, pribadi
ayah yang menghasilkan pola sikap tertentu terhadap anak – juga hasil dari
pola asuh orang tua sang ayah.
Jadi, ketika ada
orang tua mempertanyakan : “kenapa ya kok sifat anak saya seperti itu?”
sebenarnya, yang pertama kali harus dilakukan, adalah bercermin pada diri
sendiri dan kilas balik ke belakang – bagaimana ayah dan ibu kita (dan
kepribadian mereka) mempengaruhi pembentukan kepribadian kita para orang tua
sehingga seringkali tanpa sadar kita lah yang mengarahkan anak untuk
mengembangkan sifat-karakter-kebiasaan-perilaku dan segala sesuatu – seperti
diri kita, bahkan, sedapat mungkin lebih sempurna dari diri kita. Kita lupa,
bahwa anak – punya jalur, jalan hidup, panggilan hidup dan pribadi dan
identitas nya sendiri, misi hidup yang berbeda dari orang tua, yang di-desain
khusus sebelum dirinya menjelajah dunia. Orang tua, tanpa sadar menjadikan
anaknya extended version.
Masalahnya
kemudian, ketika anak tidak berkembang sesuai dengan “buku panduan”, orang
tua lantas buru-buru mendiagnosa bahwa anaknya punya masalah, kelainan atau
pun kelemahan yang harus segera di atasi dengan cara di - treatment. Padahal,
orang tua sekali lagi lupa, bahwa mereka menggunakan acuan persepsi diri
subyektif – plus ambisi pribadi, dalam menilai, mengukur perkembangan
kejiwaan dan pribadi anak. Yang kasihan, ketika anak mengalami masalah,
misalnya masalah emosional (resah, jadi pendiam, atau pemarah, mudah
menangis, sulit mengendalikan emosi, dsb) – orang tua hanya melihatnya secara
parsial, bahwa “anak saya bermasalah” dan “anak saya membutuhkan treatment”.
Orang tua seringkali lupa, bahwa anak – dan reaksinya, antara lain merupakan
hasil sintesa dari 2 kepribadian, pola sikap dan karakter orang tua yang
berbeda, termasuk dan tersangkut pula di dalamnya masalah kejiwaan sang orang
tua. Jadi, jika anak kita terlihat memiliki masalah emosional, jangan
tergesa-gesa untuk mendapatkan instant treatment buat anak. Karena, ibarat
sehelai daun menguning, maka bukan daun itu sendiri yang menyebabkannya, melainkan
kesatuan sistem pohon turut serta dalam proses “penguningan”. Artinya,
periksa dulu diri kita masing-masing, dan kemudian periksa hubungan kita
dengan pasangan dan dengan anak. Segala sesuatu berawal dari situ, khususnya
untuk masalah emosional – non medis / physiologis (misal, kelainan otak).
Pak – Bu, sebelum kita menganggap anak kita bermasalah,
lebih baik kita evaluasi beberapa hal terlebih dahulu :
a. Apa yang sedang terjadi di dalam keluarga
Apakah ada perubahan dalam keluarga
sehingga merubah tatanan, kebiasaan atau pun
stabilitas keluarga.
b. Apakah yang sedang dialami anak di sekolah
Apakah ada
masalah, tantangan atau kesulitan yang dihadapi anak di sekolah
c. Bagaimakah pola komunikasi di rumah, antara orang
tua dan antara anak dengan orang tua?
Pola komunikasi akan turut mempengaruhi
kondisi kejiwaan anak, secara langsung dan tak langsung. Anak yang terbiasa
mengekspresikan diri apa adanya, memiliki freedom to be and to fail
environment, akan lebih rileks dalam menghadapi kesulitan karena dia bisa
membicarakannya pada orang tua, tanpa dibayangi rasa takut, malu atau pun
merasa bersalah karena dirinya tak mampu memenuhi harapan orang tua
d. Bagaimakah sifat kita masing-masing sebagai orang
tua?
Dan bagaimana pola pemecahan masalah
yang biasa kita lakukan ?
Bercerminlah pada diri sendiri. Apakah ada
kesamaan ciri, pola, elemen antara orang tua dengan anak – karena anak tanpa
sadar juga belajar dari dan meniru orang tua
e. Apakah yang ingin diungkapkan anak melalui permasalahannya?
Setiap masalah yang terjadi, mengajarkan
kita sebuah nilai kehidupan. Kalau kita hanya terfokus pada dampaknya
(seringkali dampaknya pada diri kita – para orang tua, yakni : rasa malu
kalau anaknya “ketinggalan”, “bermasalah” dsb), kita jadi luput mengambil
pelajaran dan “pesan” yang harusnya kita dapatkan dari masalah yang sedang
menimpa anak maupun diri kita. Misalnya, anak resah, gelisah, sulit
konsentrasi, mudah marah dan menangis, sulit kerja sama dengan temannya di
kelas – alih-alih melihat apa yang ingin diungkapkannya melalui “unspoken
language”, orang tua sering buru-buru mencari orang yang bisa “menyembuhkan”
atau “mengembalikan” anak mereka ke kondisi “normal”. Tapi, ketika orang tua
juga diminta untuk terlibat secara aktif, bahkan ikut “di-therapy”, kontan
saja mereka menolak karena merasa “tidak bermasalah” dan hanya “anak saya
yang bermasalah”.
Jika demikian, orang tua akan sulit
memahami permasalahan yang sesungguhnya, bahkan mungkin sekali – tidak ingin
tahu permasalahan yang sesungguhnya, jika mereka lah yang harus “dikutak
katik”, harus self-healing. Siap-siap saja untuk menghadapi masalah demi
masalah yang kurang lebih serupa dengan intensitas yang semakin tinggi –
hanya karena tidak menangkap “pesan” kehidupan yang harus dipahami supaya
memperoleh kehidupan yang lebih berkualitas dan anak-anak yang lebih sehat
jasmani dan rohani.
|
Kamis, 13 September 2012
Apakah Anak Saya Bermasalah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar