Si kecil egois, agresif, bossy, penyendiri atau
pemalu? Semua itu merupakan sifat khas batita.
Ada alasan mengapa anak batita mulai menunjukkan
sifat egois, agresif, bossy, tapi juga suka menyendiri, dan bahkan
pemalu. Semuanya wajar asalkan tidak menetap dan sampai menghambat pengembangan
dirinya. Untuk itulah sifat-sifat khas tersebut tetap perlu diintervensi agar
dapat menempati porsinya yang pas dan memberi kesempatan kepada sifat lain yang
lebih baik untuk berkembang sebagai karakter anak. Nah, bagaimana
mengintervensi ke-5 sifat tersebut?
1. EGOSENTRIS
Sifat yang umumnya
muncul pada usia 15 bulanan (atau saat anak sudah sadar akan dirinya/self
awareness) ini disebabkan oleh ketidakmampuan si kecil dalam melihat suatu
hal dari sudut pandang orang lain. Jadi semua masalah akan diteropong dari kaca
mata dirinya. Lantaran sifat ini juga, anak batita selalu “here and now.”
Bila ingin sesuatu harus
didapat saat itu juga alias tidak mau menunggu. Misal, saat ia minta es krim
pada malam hari ya dia enggak mau tahu harus mendapatkannya saat itu juga.
Contoh lain, si kecil merebut mainan temannya. Meski temannya menangis, ia
tidak peduli karena ia “berprinsip” “saya suka, saya mau, maka saya harus
dapatkan”
Bila dilihat dari
perkembangan kognitif, sifat egois akan menghilang saat usia anak 6 tahun.
Karena semakin besar anak, lingkungan sosial akan menuntut anak untuk sadar
akan lingkungan, selain sadar diri. Nah, pada saat usianya menginjak 3 tahun,
sebenarnya anak sudah mulai sadar akan tuntutan sosial tersebut namun perlu
stimulasi dari orangtua.
Egosentris yang
dibiarkan terus---dalam arti anak selalu mendapatkan apa yang diinginkannya
tanpa mempertimbangkan adanya aturan-aturan sosial---bisa menetap sampai si
kecil beranjak dewasa dan anak akan dicap buruk oleh lingkungan.
Cara menyiasati
Memang masih agak sulit
batita diberi pengertian. Meski ada beberapa anak yang sudah bisa. Namun
bagaimanapun di usia batita ini orangtua sudah harus menerapkan aturan-aturan
disertai pengertian kepada anak bahwa tidak semua keinginan anak harus
terpenuhi. Pada contoh kasus es krim di atas, berilah anak pengertian.
Misalnya, ”Hari sudah malam, Dek. Mataharinya juga sudah tidur dan tokonya
tutup. Saat mataharinya bangun pagi nanti, baru kita bisa beli es krim.” Jadi,
yang penting adalah aturan harus diberikan secara
konsisten.
2. BOSSY ATAU SUKA PERINTAH
Bossy sebenarnya masih berhubungan dengan sifat
egosentris. Sifat ini merupakan kelanjutan dari usia bayi di mana anak
sebelumnya selalu diladeni. Saat memasuki usia batita dimana anak sudah tidak
lagi bergantung sepenuhnya dengan orang dewasa---dalam arti ia sudah bisa
jalan, bicara, dan melakukan apa pun yang diinginkannya---anak merasa memiliki
otonomi. Sikap otonom ini sering dibarengi dengan sikap menyuruh orang lain
demi mendapatkan apa yang diinginkan. Seperti, “Mbak, ambilin susu” atau
“Bukain sepatu.” Kondisi ini bisa “diperparah” bila ada model orang
dewasa di sekitar anak yang selalu bersikap bossy, atau memang anak
tidak dibiasakan mandiri.
Yang jelas, sifat bossy
tidak akan menghilang dengan sendirinya. Karena anak merasa keenakkan. Ngapain
capek-capek melakukan sesuatu kalau hanya dengan menyuruh saja, ia
mendapatkan apa yang diinginkan? Perilaku suka perintah di usia batita jadi
bisa dianggap lucu. Tapi begitu anak sudah lebih besar lagi, percaya deh kalau
sifat itu akan menjengkelkan banyak orang sehingga ia akan dijauhi
teman-temannya.
Cara menyiasati
- Ajarkan kemandirian
(dari hal-hal sederhana) secara bertahap seperti cuci tangan sebelum makan,
makan sendiri, buka sepatu dan lain sebagainya.
- Jangan menampilkan
sikap bossy pada siapa pun (termasuk pada PRT) karena si kecil akan
mudah “terinsiprasi” untuk bertingkah laku yang sama.
- Bila anak sudah kadung
bossy dan terbiasa main suruh, coba bangun kemandiriannya dan dorong ia
untuk mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Misal, “Dek coba yuk buka
sepatunya sendiri. Mama temani.”
3. AGRESIF
Sifat ini sebetulnya
sudah tampak sejak usia bayi (terutama pada bayi dengan temperamen sulit). Namun
akan semakin kerap kemunculannya di usia batita. Si kecil merasa keinginannya
tidak dipahami oleh orang dewasa (berkaitan dengan komunikasi anak batita yang
masih terbatas). Agresivitas juga dapat muncul karena kebiasaan. Misal, anak
belajar dari pengalamannya jika ia berteriakteriak atau melempar barang maka
orang akan memenuhi apa pun yang ia inginkan. Atau kalau ia memukul temannya,
maka si teman akan memberikan mainan yang diinginkan kepadanya.
Sifat agresif yang tidak
diantisipasi bisa menjadi habituasi dan berlanjut hingga usia dewasa nanti. Di
saat usia anak tentunya ia akan dijauhi teman-teman, dicap nakal, sehingga pada
akhirnya anak sendiri akan menerima bahwa dirinya “trouble maker” hingga
ia besar nanti.
Cara menyiasati
* Saat
anak tantrum, peluk atau pegang tangan/badannya. Biarkan ia marah.
Setelah kemarahannya reda orangtua bisa tanyakan penyebabnya sesuai dugaan atau
perkiraan orangtua. Misal, “Adik pasti sedang marah sekali ya karena ibu tidak
beli es krim buat kamu sekarang? Ibu tahu, adik ingin es krim. Tapi hari sudah
malam, mataharinya sudah tidur dan tokonya sudah tutup. Kalau mataharinya sudah
bangun dan tokonya buka, kita nanti beli sama-sama, ya?” Dalam keadaan
emosional, anak batita akan bingung mengatakan apa penyebab rasa kesalnya.
Lebih baik, kita yang mendefinisikan perasaannya. Cara ini membuat anak merasa
dipahami perasaannya.
* Jangan
menanggapi agresivitas anak dengan cara yang agresif pula. Contoh, saat ia
memukul temannya, jangan kita malah mencubit anak untuk menghentikan aksinya
itu. Benar sih anak tidak akan meneruskan pukulannya, namun anak justru
memperoleh gambaran bahwa sikap kasar itu diperbolehkan.
* Beri
penjelasan. Memang bukan pekerjaan mudah menjelaskan pada anak batita. Karena
hanya sekali diberi tahu tidak akan membuatnya patuh dan melupakan sifat
agresifnya. Jangan putus asa, lama-kelamaan jika selalu dijelaskan, anak akan
belajar bahwa untuk mendapatkan sesuatu tidak harus dengan sikap agresif.
4. PEMALU
Si kecil kerap
bersembunyi di balik kaki ibu/bapak atau terusmenerus memegangi baju kita saat
bertemu orang lain? Atau kala ditanya, anak memilih diam dan menundukkan
kepala? Kalau memang ya, bisa jadi memang ia pemalu. Namun bisa juga karena ia
takut pada orang asing atau tidak terbiasa bertemu dengan orang banyak.
Umumnya, sifat pemalu
anak yang karena pembawaan pribadi (diturunkan dari orangtua yang juga pemalu
dan tidak suka bersosialisasi) akan terbawa sampai dewasa. Meski tak ada dampak
buruk pada anak, namun bisa membuat anak kehilangan peluang dalam dalam
berbagai hal, dibandingkan dengan anak yang aktif dan berani. Sifat pemalu juga
membuat anak sulit mengembangkan diri dan beradaptasi dengan lingkungan
sosialnya.
Cara menyiasati
Untuk menghadapi anak
pemalu sebaiknya orangtua sering membawanya untuk bersosialisasi. Latih sejak
dini dengan memasukkan anak pada lingkungan sosial dimana banyak anak bermain
seperti di taman bermain. Awalnya mungkin anak merasa takut, jadi temani
sementara waktu.
Setelah beberapa lama
biasanya anak bisa ditinggal dan berbaur bersama anak-anak lainnya. Bisa juga
anak diajak ke tempat-tempat pertemuan atau ketika orangtua bertemu dengan
kenalan di jalan, anak bisa diminta untuk mengenalkan dirinya atau menyapanya.
Misal, “Sayang, kenalin nih. Ini tante Diba. Ayo salam. Beri tahu siapa
nama Adek.”
5. PENYENDIRI
Sifat penyendiri pada
usia batita---selain dikarenakan perkembangan kognitif anak dalam melihat
sesuatu masih dari sudut pandangnya sendiri---perkembangan sosialnya pun masih
belum berkembang baik. Anak baru mulai sadar akan adanya tuntutan dari
lingkungan sosial di usia 3 tahun ke atas. Lantaran itulah, saat bermain, anak
tampak soliter (lebih suka bermain sendiri) meski ada teman di sampingnya.
Sifat penyendiri akan menghilang setelah usia batita. Apalagi jika anak sudah
berelasi dengan teman-temannya. Namun pada beberapa anak memang sifat
penyendiri ini bisa menjadi kebiasaan yang terbawa pula sampai nantinya.
Soal dampak, sebenarnya
sifat penyendiri tak jadi masalah. Bahkan hingga usia dewasa pun sebetulnya
sifat ini terkadang diperlukan. Karena adakalanya manusia perlu sebagian waktu
untuk menyendiri dan sebagian waktunya lagi bersosialisasi. Hanya kalau sifat
penyendiri si batita sudah keterlaluan, misal, dia lebih memilih menyendiri
sampai 24 jam terus-menerus, ya tidak boleh dibiarkan. Sebab anak tetap perlu
beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungan sosial yang ada.
Cara menyiasati
Sama seperti halnya anak
yang pemalu, orangtua perlu mengajak anak dalam kegiatan bersama dan
bersosialisasi. Mulailah dari lingkungan orang dekat, seperti taman bermain
dekat rumah yang banyak dikunjungi anak-anak tetangga, dan acara keluarga agar
anak mengenal sepupu dari keluarga ayah dan ibunya. Setiap saat, ajaklah anak
berkomunikasi dan jangan lupa sediakan waktu untuk mendengarkan dan menanggapi
setiap ujarannya. Semakin ia percaya bahwa kita bersedia menjadi pendengarnya
yang sabar, anak akan semakin berani bicara dan lebih bersikap terbuka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar