Bodoh sekali sih kamu, begitu saja salah, tidak bisa……
Aduh anak saya ini loh pemalu sekali……..
Dasar anak bandel……….
Beberapa orangtua pasti tidak
asing dengan kalimat-kalimat di atas, beberapa orangtua yang lain mungkin
pernah mendengar (dan mengucapkan) versi-versi lain dari kalimat sejenis.
Versi-versi lain itu bisa kalimat negatif seperti contoh-contoh di atas dan
bisa juga kalimat-kalimat positif yang berisi pujian tentang
kehebatan-kehebatan anaknya. Orangtua yang "sempurna" dan sulit menerima
kesalahan dan kekurangan, mungkin akan lebih banyak mengatakan kalimat-kalimat
negatif, orangtua yang "adil" mungkin pernah mengatakan kedua jenis
kalimat tersebut tergantung keadaan anak, sementara orangtua lain yang selalu
berpikir positif dan hanya mau melihat hal-hal positif pada anaknya mungkin
hanya mengatakan kalimat-kalimat positif.
Semua itu disebut sebagai labeling.
Labeling
Labeling adalah
proses melabel seseorang. Label, menurut yang tercantum dalam A Handbook for The Study of Mental Health,
adalah sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi
identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah
dia.Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia
secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu persatu.
Dampak Terhadap Anak
Dalam teori
labeling ada satu pemikiran dasar, dimana pemikiran tersebut menyatakan "seseorang yang diberi label sebagai
seseorang yang devian dan diperlakukan seperti orang yang devian akan menjadi
devian".Penerapan dari pemikiran ini akan kurang lebih seperti berikut
"anak yang diberi label bandel, dan diperlakukan seperti anak bandel, akan
menjadi bandel". Atau penerapan lain "anak yang diberi label bodoh,
dan diperlakukan seperti anak bodoh, akan menjadi bodoh". Kalau begitu
mungkin bisa juga seperti ini "Anak yang diberi label pintar, dan
diperlakukan seperti anak pintar, akan menjadi pintar".
Pemikiran dasar
teori labeling ini memang yang biasa terjadi, ketika kita sudah melabel seseorang,
kita cenderung memperlakukan seseorang sesuai dengan label yang kita berikan.
Misalnya, seorang anak yang diberi label bodoh cenderung tidak diberikan
tugas-tugas yang menantang dan punya tingkat kesulitan di atas kemampuannya
karena kita berpikir "ah dia pasti tidak bisa kan dia bodoh, percuma saja
menyuruh dia". Karena anak tersebut tidak dipacu akhirnya kemampuannya
tidak berkembang lebih baik. Kemampuannya yang tidak berkembang akan menguatkan
pendapat/label orangtua bahwa si anak bodoh. Lalu orangtua semakin tidak memicu
anak untuk berusaha yang terbaik, lalu anak akan semakin bodoh. Anak yang
diberi label negatif dan mengiyakan label tersebut bagi dirinya, cenderung
bertindak sesuai dengan label yang melekat padanya. Dengan ia bertindak sesuai labelnya, orang
akan memperlakukan dia juga sesuai labelnya. Hal ini menjadi siklus melingkar
yang berulang-ulang dan semakin saling menguatkan terus-menerus.
Dalam buku Raising A Happy Child, banyak ahli yang
setuju, bahwa bagaimana seseorang memandang dan merasakan dirinya sendiri akan
menjadi dasar orang tersebut beradaptasi sepanjang hidupnya. Anak yang
memandang dirinya baik akan mendekati orang lain dengan rasa percaya dan
memandang dunia sebagai tempat yang aman, dan kebutuhan-kebutuhannya akan terpenuhi.
Sementara anak yang merasa dirinya tidak berharga, tidak dicintai akan
cenderung memilih jalan yang mudah, tidak berani mengambil resiko dan tetap
saja tidak berprestasi.
Bagi banyak orang
(termasuk anak-anak) pengalaman mendapatkan label tertentu (terutama yang
negatif) memicu pemikiran bahwa dirinya ditolak. Pemikiran bahwa dirinya
ditolak dan kemudian dibarengi oleh penolakan yang sesungguhnya, dapat
menghancurkan kemampuan berinteraksi, mengurangi rasa harga diri, dan
berpengaruh negatif terhadap kinerja seseorang dalam kehidupan sosial dan
kehidupan kerjanya.
Saran
Bagi Orangtua
Adalah penting bagi anak
untuk merasa bahwa dirinya berharga dan dicintai. Perasaan ini diketemukan
olehnya lewat respon orang-orang sekitarnya, terutama orang terdekat yaitu
orangtua. Kalau respon orangtua positif tentunya tidak perlu dicemaskan
akibatnya. Tetapi, adakalanya sebagai orangtua, tidak dapat menahan diri
sehingga memberikan respon-respon negatif seputar perilaku anak. Walaupun
sesungguhnya orangtua tidak bermaksud buruk dengan respon-responnya, namun
tanpa disadari hal-hal yang dikatakan orangtua dan bagaimana orangtua
bertindak, masuk dalam hati dan pikiran seorang anak dan berpengaruh dalam
kehidupannya.
Beberapa saran bagi orangtua:
1. Berespon secara spesifik terhadap perilaku anak, dan
bukan kepribadiannya. Kalau anak
bertindak sesuatu yang tidak berkenan di hati, jangan berespon dengan
memberikan label, karena melabel berarti menunjuk pada kepribadian anak,
seperti sesuatu yang terberi dan tidak bisa lagi diperbaiki. Contoh: Kalau anak
tidak berani menghadapi orang baru, jangan katakan "Aduh kamu pemalu
sekali", atau "Jangan penakut begitu dong Nak", tetapi
beresponlah "Tidak kenal ya dengan
tante ini, jadi tidak mau menyapa. Kalau besok ketemu lagi, mau ya menyapa, kan
sudah pernah kenalan". Kalau anak nakal (naughty), jangan katakan bahwa dia nakal tapi katakan bahwa
perilakunya salah (misbehave).
Anak-anak sering berperilaku salah, selain karena mereka memang belum
mengetahui semua hal yang baik-buruk; benar-salah; boleh-tidak boleh, mereka
juga suka menguji batas-batas dari orangtuanya. Misalnya, kakak merebut mainan
adik, katakan "Kakak, merebut
mainan orang lain itu salah, tidak boleh begitu. Kalau main sama adik gantian
ya" (dan bukan mengatakan "Kakaaaaak, nakal sekali sih merebut
mainan adiknya"). Dengan demikian tidak ada pesan negatif yang masuk dalam
pikiran anak, dan bahkan anak didorong untuk mau bertindak benar di waktu
berikutnya.
2. Gunakan label untuk kepentingan pribadi orangtua. Sebenarnya melabel tidak selamanya buruk, asalkan label
tersebut digunakan orangtua untuk dirinya sendiri, agar lebih memahami dinamika
perilaku anak. Misalnya, "Anakku A lebih bodoh daripada anakku B".
Tapi label tersebut tidak dikatakan
di depan anak, "A kamu itu kok lebih bodoh ya daripada adikmu si
B". Dengan mengetahui dinamika anak
lewat label yang ada dalam pikiran orangtua sendiri, hendaknya orangtua
menggunakan label tersebut untuk menyusun strategi selanjutnya, agar kekurangan
anak diperbaiki. Misalnya, setelah mengetahui A lebih bodoh daripada B, maka
orangtua memberikan lebih banyak waktu untuk mengajarkan sesuatu dan
mempersiapkan diri untuk lebih sabar jika menghadapi A.
3. Menarik diri sementara jika sudah tidak sabar. Adakalanya orangtua sudah tidak sabar dan inginnya
melabel anak, misalnya "Heeeeh kamu goblok banget sih, 1 + 1 saja tidak
bisa-bisa". Jika kesabaran sudah diambang batas, sebelum kata-kata negatif
keluar, ada baiknya orangtua menarik diri sementara dari anak, time off. Katakan pada anak, "Papa sudah
lelah, mungkin kamu juga sudah lelah.
Kita istirahat dulu, nanti belajar lagi sama-sama. Siapa tahu setelah istirahat
kita berdua lebih berkonsentrasi dan semangat belajar".
Bagaimana cara orangtua berbicara dan menanggapi kekurangan-kekurangan anak
akan sangat berpengaruh bagi anak sepanjang hidupnya. Oleh karena itu orangtua
harus sangat berahti-hati dan mempertimbangkan secara matang apa yang akan
diucapkan kepada anaknya. Mulutmu harimaumu, begitulah kata pepatah,
yang dalam hal ini mulut orangtua bisa menjadi harimau bagi anak.
Penting sekali orangtua selalu berkata-kata positif tentang anak, agar anak
jadi berpikir positif tentang dirinya dan bertumbuh dengan harga diri yang
tinggi dan perasaan dicintai dan diterima.(jp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar