Kamis, 23 Agustus 2012

Kata Kata Kasar dan Kecanduan Game Online


PERTANYAAN :
Ketika saya bermain di warnet, banyak anak-anak terutama anak laki-laki yang bermain game online. Namun saat mereka bermain, mereka mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas mungkin karena kesal bertarung dengan teman sebayanya. Sepertinya itu bermain saling adu pukul, tembak-menembak, dsbnya.
Apakah itu termasuk dampak negatif bermain game online? Bagaimana menghilangkan kecanduan game tersebut?

JAWABAN :
Game online bagi sebagian orang, dapat menjadi semacam katalis untuk melampiaskan emosi seseorang. Tak jarang pula game online seperti menawarkan 'kehidupan' ataupun pengalaman lain yang sulit didapat oleh pemainnya di kehidupan nyata. Misalnya saja menjadi orang yang berkuasa, berlimpah harta, memiliki banyak teman, dan disegani oleh lawan.

Ketika game online dimainkan terus-menerus, maka pemainnya akan menjadi lebih sering 'berkomunikasi' dengan pihak lain melalui perantara avatar-avatar (tokoh-tokoh imajiner digital). Dalam keadaan tertentu, yang kemudian dianggap kecanduan, adalah ketika pemainnya tidak mudah lagi memisahkan emosi dan perasaan dirinya sendiri dengan tokoh imajiner yang dimainkannya.

Walhasil, bagi para pemain yang kecanduan game online, kehidupan 'nyatanya' adalah justru yang di game online tersebut. Sedangkan yang sesungguhnya nyata, bagi mereka hanyalah sampingan sekedar beristirahat dan makan.

Bagaimana menghilangkan kecanduan game? Jika memang sudah dirasakan oleh orang sekitarnya, semisal keluarga dan kerabat, bahwa seseorang sudah menyandu game online pada taraf yang mengkhawatirkan (misalnya, sampai mengganggu konsentrasi belajar sehingga nilai pelajarannya anjlok, jarang ada di rumah atau ada perubahaan sikap menjadi pendiam, pemurung ataupun pemarah ketika ada di rumah, menghabiskan uang saku ataupun hingga mencuri uang atau barang demi bermain game online), maka perlu ada penetrasi yang tegas dari pihak lain.

Pada fase tersebut, seorang pecandu sudah merasakan kenikmatan yang tak bisa diputus sewaktu-waktu oleh kesadaran dirinya-sendiri. peran orangtua ataupun siapapun yang dengan dengan dirinya, adalah segera menghentikan kebiasaannya bermain game tersebut dan mengawasinya dengan ketat. jika memang hal tersebut tidak cukup atau tidak dapat dilakukan, maka berkonsultasilah dengan seorang psikiater khusus anak/remaja.

Kemudian untuk menjawab pertanyaan apakah mengeluarkan kata-kata kasar saat bermain game online adalah dampak negatif dari game online ataupun bukan, maka saya akan menjawab 'bukan'. Kebiasaan mengelurkan kata-kata kasar adalah lebih pada pengaruh lingkungan atau peer-group (teman sepermainan) mereka.


Karena kata-kata kasar juga dapat terlontar oleh mereka, yang karena pengaruh tadi, ketikda sedang melihat tayangan olahraga, sedang bertanding atapun hal lain yang membangkitkan emosi, baik itu emosi marah, senang ataupun terkejut.

Dalam hal ini, kata-kata kasar adalah bentuk verbal dari luapan ekspresi atau emosi. Pun, orang yang pengaruh lingkungan ataupun peer group-nya tidak membiasakan untuk berkata kasar, maka pemain game online pun akan menggunakan pilihan lain untuk meluapkan ekspresi ataupun emosinya.

Misalnya dengan mengepalkan tangan, dengan meninju telapak tangganya sendiri ataupun dengan meninju telapak tangannya sendiri ataupun dengan teriakan-teriakan yang tidak tergolong kata-kata kasar. (sumber: inet.detik.com)

Stop Omong Kasar


Kata-kata yagn kasar yang keluar dari mulut anak seringkali membuat “kaget” orang tua. Tidak usah khawatir tidak usah panik, simak tips berikut.
  • Kenali pemicunya
    Selain mendengar dari lingkungan sekitar yang sering berbicara kasar, anak juga bisa menirunya dari tayangan televisi.
  • Kendalikan mulut si kecil.
    Orang tua harus mencontohkan kepada anak bagaimana cara menggunakan kalimat-kalimat yang sopan dan hangat.
  • Ajari sikap positif.
    Katakan bahwa segala bentuk kekasaran tidak bisa diterima oleh orang lain. Orang akan lebih senang bergaul dengan orang yang sopan dan lemah lembut.
  • Diskusi
    Berdiskusilah dengan pasangan bagaimana cara yang efektif untuk mengatasi  kebiasaan buruk si kecil ini.
  • Dampingi nonton TV.
    Orang tua harus mmegang remote control TV. Diskusikanlah pada anak ketika selesai menonton tayangan yang berisi kata-kata atau sikap kasar di TV.
  • Tak menutup mata.
    Pedulilah pada lingkungan bermain anak. Perhatikanlah bagaimana sikap dan sopan santun teman-temannya.
  • Berikan penghargaan.
    Bila anak sudah berhasil mengurangi kata-kata kasarnya, berilah pujian kepadanya.
  • Hindari cap si “kasar”
    Jangan pernah mencap si kecil dengan “cap” apapun akan berpengaruh terhadap sikap dan tingkah lakunya.
  • Jangan main pukul.
    Bila anak melakukan kesalahan, hindarilah memukul anak. Sehingga anak bisa belajar bahwa ada banyak cara untuk marah bukan hanya dengan berkata kasar dan memukul saja (sumber: www.ayahbunda.co.id)

Bila Si Kecil Omong Kotor


J angan panik ! Cobalah telusuri mengapa ia sampai omong begitu, lalu berilah pengertian. Jangan lupa, orang tua pun harus menjadi contoh.
"Ma, Mama mau relaksa, nggak ?" tanya seorang anak usia 4 tahun kepada ibunya. Spontan si ibu menjawab, "Mau, dong." Tapi si anak malah terkikih seraya bilang, "Ih, Mama mau rela diperkosa." Si ibu langsung terbengong-bengong, kaget!

Begitulah, tak jarang kita temui anak usia prasekolah mengucapkan kata-kata yang bikin kita kaget bukan kepalang. Entah itu omong kasar, tak sopan, atau bahkan omong kotor/jorok. Kita pun jadi bertanya-tanya, dari mana si kecil bisa mendapatkan omongan tersebut. Bukankah kita tak pernah mengajarinya berkata demikian?
Memang, tak ada satu pun orang tua yang pernah mengajari anaknya omong kasar/kotor. Yang sering terjadi ialah orang tua kadang tanpa sadar mengucapkannya. Misalnya, mengumpat di jalan raya saat terjebak kemacetan atau memarahi pembantu dengan kata-kata kasar. Nah, dari situlah salah satunya si anak "mengenal" ucapan-ucapan tersebut. 

MENIRU
Menurut Dra. Rostiana, pengucapan kata-kata kasar/kotor berkaitan dengan proses belajar anak. "Anak usia prasekolah masih dalam tahap imitasi atau meniru. Mereka masih dalam taraf mengasah aspek sensomotorik, lebih mengandalkan pikirannya pada apa yang mereka amati dan rasakan tapi apa maknanya yang terkandung mereka belum tahu. Jadi, proses belajarnya melalui imitasi," terangnya.
Dengan kata lain, anak mengucapkan kata-kata tersebut karena meniru dari orang lain. Entah itu orang tua atau anggota keluarga lain, tetangga, maupun televisi. Bahkan, dari teman-teman sebayanya. "Biasanya jika dalam satu kelompok ada salah satu anak yang dominan dan biasa omong kotor, maka yang lain akan meniru," tutur Pembantu Dekan III Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara ini.

Tapi bagaimana dampaknya? "Tentu ada, terutama bagi perkembangan moral si anak," ujar Rostiana. "Jika orang tua membiarkan, maka anak akan merasa bahwa norma sopan santun adalah sesuatu yang sangat wajar. Artinya, tak berlaku sopan pun enggak apa-apa." Nah, akibatnya, setelah besar si anak bisa dengan mudah mengucapkan kata-kata kasar atau memaki-maki orang, misalnya.
Selain itu, perkembangan bahasa si anak juga bisa terhambat, apabila orang tua hanya melarang tanpa memberikan penjelasan. "Anak akan merasa bahwa ia selalu dilarang ngomong . Sedikit-sedikit enggak boleh. Akibatnya, si anak jadi tak berani banyak berbicara. Tentunya ini akan menghambat perkembangan bahasa si anak."
Nah, agar perkembangan bahasa si anak tak terhambat, anjur Rostiana, berilah penjelasannya mengapa ia dilarang omong seperti itu. "Orang tua juga bisa memberikan alternatif, lain kali kalau anak menghadapi situasi seperti itu sebaiknya ngomong dengan kalimat lain." 

JAUHI SI TEMAN
Orang tua, ujar Rostiana, sebaiknya jangan panik ketika anak ngomong kasar/jorok, "Tapi tetap harus waspada. Coba ditelusuri, apakah anak mengerti apa yang ia omongkan." Bila si anak belum mengerti, sebaiknya orang tua memberikan pengertian yang benar. Tapi bila si anak ternyata sudah mengerti, maka orang tua harus hati-hati. "Karena mungkin saja ada konsep yang belum tentu dipahami secara benar oleh anak."
Staf pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara ini juga menekankan pentingnya pengawasan saat anak bermain dengan teman-temannya, "Sehingga kalau ada anak yang omong kasar atau kotor bisa diberi tahu."

Sering terjadi, orang tua melarang anaknya bergaul dengan temannya yang suka omong kasar/jorok. "Mungkin kalau hanya omong kasar, kita bisa bilang pada anak agar jangan meniru omongan temannya itu. Tapi kalau anak yang suka omong jorok, seringkali juga memiliki perilaku buruk. Misalnya, suka memukul. Biasanya anak-anak ini berasal dari keluarga yang tidak harmonis dan tak mengutamakan pendidikan bagi anaknya."
Karena itulah Rostiana setuju saja bila anak dilarang bergaul dengan temannya yang suka omong jorok. "Cari teman yang lain saja. Kita, kan, nggak bisa mengatasi anak orang lain. Jadi, yang harus dilakukan adalah melindungi anak kita sendiri." Hal ini, lanjutnya, juga merupakan sanksi sosial agar orang tua dari si anak tersebut mendapatkan masukan bahwa anaknya ternyata tak punya teman. Sehingga si orang tua bisa melakukan introspeksi diri mengapa sampai anaknya dijauhi teman. 

CONTOH DAN KONSISTEN
Tentu bukan berarti orang tua harus mengisolasi anak untuk menghindari anak meniru ucapan-ucapan kasar/kotor dari luar. "Nggak bisa, kan, kita selalu menunggui anak. Lagipula ia tetap saja bisa mendengar omongan tersebut, misalnya, dari teve. Ini juga akan dipelajari anak dan akan me-reinforce perilaku anak untuk juga berlaku sama," tutur Rostiana.
Yang bisa dilakukan adalah mengurangi dengan memberi contoh di rumah. "Tentu dari orang tua, karena orang tua adalah figur yang memiliki pengaruh lebih kuat bagi anak." Namun pengaruh yang lebih kuat ni hanya bisa diperoleh apabila orang tua bersikap konsisten. "Jadi, kalau kita ingin agar anak tidak omong kasar atau kotor, ya, kita pun jangan memaki-maki orang." 

Kalau tidak, jangan kaget dan heran apabila si anak protes. "Anak juga punya hak untuk bersikap kritis, lo, sehingga orang tua tetap bisa konsisten."
Memang, Rostiana mengakui, kadang tanpa disadari orang tua pun berbicara kasar. Contohnya, mengumpat di jalan raya tadi. Tapi ketika omongan kasar itu diucapkan oleh si anak, orang tua tak bisa terima. "Tentu ini tidak fair . Nah, ini juga yang musti dipertimbangkan orang tua." Berarti, mau tak mau kita harus berupaya agar bisa selalu mengontrol diri kita, baik dalam berbicara maupun berperilaku.
Jangan lupa, ujar Rostiana, anak merupakan cermin dari perilaku orang tua. "Baik buruknya anak merupakan satu feed back bagi kita. Yang pertama diimitasi oleh anak adalah orang tua. Jadi, bercerminlah dari anak." 

BERI PENGERTIAN
Selain lewat tindakan atau contoh nyata, anak juga harus diberi tahu secara lisan. "Hal ini bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja," ujar Rostiana. Misalnya, saat menonton teve yang menayangkan adegan seseorang tengah memaki-maki orang lain, orang tua bisa bilang, "Yang ini nggak boleh ditiru, ya."
Bisa juga memberikan pengertian dengan menanyakan pada si anak. Misalnya, anak omong kasar pada temannya, tanyakan, "Bagaimana rasanya kalau Kakak dikatain begitu?" Si anak mungkin akan menjawab, "Sebel, Yah." Selanjutnya orang tua bisa bilang, "Nah, makanya jangan ngatain begitu lagi, ya. Kalau teman Kakak nggak mau main sama Kakak lagi, bagaimana?"

Dengan demikian si anak akan mengerti karena dia bisa merasakan apa yang dirasakan oleh temannya kala ia mengucapkan kata-kata kasar tersebut. "Cara ini lebih efektif karena kita tak bisa menjelaskan pada anak usia prasekolah bahwa omongan tersebut tidak sopan. Si anak nggak akan mengerti apa yang dimaksud dengan sopan. Jikapun dijelaskan, ia juga tak mengerti." Lain halnya pada anak yang usianya lebih besar.
Meski begitu, lanjut Rostiana, anak tetap harus diberikan pengertian secara lisan, "Karena akan mengasah otak si anak untuk berpikir. Rasio mereka, kan, belum tumbuh. Namun dalam memberikan pengertian tentunya harus disesuaikan dengan bahasa mereka, yakni hal-hal yang konkret."

Jika di rumah orang tua sudah memberikan banyak pengertian pada anak, menurut Rostiana, bisa terjadi si anak sendiri yang akan bereaksi kala seorang temannya mengucapkan kata-kata kasar/kotor. "Ada yang reaksinya dengan menarik diri dan tak mau mengajak temannya main lagi." Ada pula yang akan menegur langsung si teman, "Ih, kamu nggak boleh ngomong begitu."
Selain itu, jika orang tua memberikan pengertian mana yang boleh dan tidak, mana yang baik dan buruk, maka ini akan menjadi satu pola pendidikan bagi masyarakat kecil dimana anak terlibat semisal lingkungan tempat si anak bermain dengan teman-teman sebayanya. 

KATAKAN SEBUTAN ASLINYA
Yang juga penting, lanjut Rostiana, janganlah orang tua menggunakan bahasa pengganti saat mengucapkan alat-alat vital. Misalnya, alat kelamin lelaki disebut "burung", bukan penis.
"Sebab, bahasa pengganti mengasumsikan hal tersebut sebagai sesuatu yang tabu yang tak boleh diucapkan anak." Bahkan, tak jarang orang tua jelas-jelas melarang dan bahkan memarahi dengan mengatakan, "Jangan bilang begitu, jorok!"

Akibatnya, si anak pun merasa bahwa apa yang diucapkannya itu jorok dan tak boleh diucapkan."Hal ini juga akan menghambat pola pendidikan seks bagi anak." Misalnya, anak perempuan yang sudah beranjak dewasa tak mengerti apa itu menstruasi. "Dia mau cerita ke ibunya takut karena sejak kecil dilarang ngomongin soal itu."
Karena itulah, anjur Rostiana, sejak awal orang tua harus sudah mengajarkan sebutan yang benar untuk alat-alat vital tersebut. "Orang tua juga jangan melarang atau memarahi, tapi berilah penjelasan. Toh, ini bukan sesuatu yang harus dihindari anak. Alat-alat vital itu, kan, merupakan bagian dari tubuhnya. Jadi, anak pun harus tahu." Lain halnya bila si anak ngomong yang menjurus ke arah pornografi, "Nah, itulah yang harus diluruskan oleh orang tua."  (sumber:www.tabloidnova.com)

Rabu, 22 Agustus 2012

Solusi Atasi Anak Malas Belajar


ANAK tidak mau belajar atau malas untuk membaca buku pelajaran, sering jadi keluhan orangtua. Dimana anak lebih suka melihat tayangan televisi, seperti sinetron, film atau bermain dengan teman-teman sebayanya.

Jika anak tidak mau belajar, mereka menganggap bahwa belajar adalah suatu kegiatan yang kurang menyenangkan dibandingkan dengan bermain atau nonton. Untuk mengatasi anak yang malas belajar adalah dengan membuat anak menganggap bahwa belajar adalah kegiatan yang menarik, menyenangkan atau membuat mereka sadar bahwa belajar adalah suatu kebutuhan.

Berikut ini adalah tips untuk mengatasi anak yang malas belajar :


- Memberi sentuhan pada titik peka anak. Sebagai orangtua sekaligus sebagai pendidik bagi anak harus memiliki kesabaran untuk memulai menyentuh titik peka anak dengan memberi perhatian khusus pada hal-hal yang amat menarik perhatian anak. Hal ini perlu dilakukan untuk memperoleh tanggapan dan perhatian anak. Dengan demikian anak tentunya akan terbuka menerima pendapat dengan perasaan senang dan gembira, bebas dari perasaan tertekan, takut dan terpaksa. Pada akhirnya anak akan menerima pemahaman, betapa penting dan dibutuhkan proses belajar untuk mencapai tujuan (memperoleh keperkasaan menurut daya nalarnya). Dalam hatinya pun tergerak untuk melakukan dan merencanakan kegiatan belajarnya. Hanya saja di sini dibutuhkan kesabaran kita untuk melakukan pendekatan kepada anak.

- Membangkitkan nilai plus anak. Satu pengharapan orangtua tentunya menginginkan anak itu terpacu semangatnya untuk belajar. Anak belajar atas inisiatif, kesadaran sendiri dan proses belajar itu sudah menjadi suatu kesadaran kebutuhannya untuk mencapai suatu kecakapan khusus serta ingin menonjolkan kelebihan-kelebihannya lebih dari yang lainnya.

Untuk menyentuh perasaan atau keinginan bawah sadar anak agar dirinya merasa "tertantang" untuk melakukan sesuatu yang positif, kita dapat mengambil contoh dari tokoh film herois dan tokoh dunia yang sukses. Kita dapat mengungkapkan, bahwa untuk menjadi orang yang sukses dibutuhkan perencanaan belajar, cara-cara belajar yang baik, tahu apa yang hendak dipelajari dan tahu menerapkan apa yang dipelajari, sehingga tertanam pemahaman belajar yang bukan asal belajar.

- Mengembangkan cita-cita anak. Kita harus berperan aktif untuk mendorong anak agar memiliki cita-cita hidup sesuai dengan taraf perkembangan daya nalarnya dan usianya. Cita-cita anak selalu berubah sesuai dengan perkembangan usia dan daya nalar anak. Kita dapat memberi contoh agar anak mau mengembangkan imajinasi dirinya atau mengidentifikasikan dirinya jika sudah dewasa ingin menjadi apa dirinya. Dengan terpatrinya sebuah cita-cita hidup dalam hati nurani anak, akan menumbuhkan motivasi instrinsik pada diri anak untuk lebih giat belajar dan lebih terbuka untuk mengembangkan perencanaan belajarnya.

- Menentukan waktu belajar anak yang tepat. Jika anak telah sadar dan tergerak hatinya untuk melakukan kegiatan belajar kesempatan yang baik ini jangan kita sia-siakan. Kita dapat mengarahkan dan menentukan kapan waktu belajar anak. Hal-hal yang perlu diperhitungkan dalam menentukan waktu belajar anak di rumah, antara lain: sesuai dengan keinginan anak, jangan berbenturan dengan waktu keinginan-keinginan lain yang dominan pada anak, seperti ingin menonton film kartun favoritnya, dan sebagainya. Kondisi fisik dan psikis anak dalam keadaan fresh (segar) bebas dari rasa lelah, mengantuk, gangguan penyakit, rasa marah dan sebagainya.

- Mengembangkan tujuan belajar. Agar anak mengetahui mafaat dan arah yang dipelajarinya, biasakan belajar dengan bertujuan. Dengan adanya tujuan belajar akan lebih bermakna, karena anak mengetahui dengan jelas apa yang hendak dipelajari dan apa yang dikuasainya. Anak pun akan mudah memusatkan perhatian pada pelajarannya.

- Mengembangkan cara-cara belajar yang baik pada anak. Gairah belajar anak akan tumbuh jika dirinya mengetahui bagaimana cara belajar yang efektif dan efesien. Untuk mencapai tujuan belajar anak, Anda perlu membekali anak bagaimana cara-cara belajar yang efektif dan efesien. Kita dapat mananamkan pengertian pada anak bahwa dalam belajar juga sangat dibutuhkan teknik belajar yang baik, agar belajar itu lebih bermakna dan memudahkan pencapaian tujuan belajar.

- Mengembangkan rasa percaya diri anak. Sudah tentu menjadi suatu keharusan bagi kita untuk bisa membangkitkan dan memupuk rasa percaya diri anak sedini mungkin. Rasa percaya diri adalah sumber motivasi yang besar bagi anak untuk memusatkan perhatian pada pelajarannya. Dengan adanya percaya diri pada anak, akan tumbuh semangat "dia mampu berbuat atau melakukan". Sesuatu yang sulit dalam pelajaran menjadi tantangan untuk ditaklukkan dan utnuk dikuasai. Anak punya keyakinan mampu melakukan tidak akan gampang menyerah dalam menghadapi kesulitan atau hambatan dalam belajar. Kreativitas dan imajinasi berpikir akan berkembang untuk mencari cara-cara mengatasi kesulitan. (sumber:www.balipost.co.id)