Rabu, 22 Agustus 2012

Ikut Neneknya Atau Ibunya


PERTANYAAN:
Anak saya umur 4 tahun, saat ini ikut neneknya di Yogyakarta sekolah TK baru mulai 3 minggu., karena saya harus bekerja dari pagi hingga sore. Posisi saya di Sidoarjo. Saya agak dilema mengenai perkembangan psikisnya. baikkah untuk ke depannya, jika ia ikut neneknya? Ato sebaiknya ikut saya sekolah di Sidoarjo, tapi harus saya tinggal bekerja karena dia rewel/ menangis sambil teriak kalau saya pulang kerja? Sebaiknya bagaimana ya?

JAWABAN:
Pada dasarnya, selama orang tua masih menjadi sosok yang berperan penting secara aktif dalam hidup anak, maka tetap yang terbaik untuknya adalah hidup bersama orang tua, terutama di masa-masa balita di mana masa ini adalah masa keemasan anak untuk menerima berbagai informasi serta nilai-nilai normatif tanpa disaring.
Karena itulah, bila anak diasuh oleh orang lain yang jauh dari jangkauan orang tua, tidak tertutup kemungkinan, ia akan mendapatkan nilai-nilai yang kurang sesuai dengan yang akan diterapkan oleh orang tua.

Pada saat anak kembali diasuh oleh orang tua, tidak tertutup kemungkinan, ia akan mengalami kebingungan bila antara pola asuh orang tua dengan pola asuh yang terbiasa ia terima berbeda. Dan akibatnya, bisa jadi, ia akan menjadi anak yang “tampak” bermasalah di hadapan orang tua.

Untuk itu, bila memang masih memungkinkan, maka lebih baik anak, tinggal bersama orang tua sebagai figur paling penting dalam hidupnya.
Lantas, bagaimana untuk meminimalisirkan dampak dari kesibukan orang tua terhadap anak seperti permasalahan ibu?
Seperti sebuah pepatah kuno yang mengatakan, “Ada banyak jalan menuju Roma.” Maka kami-pun optimis, kita selalu memiliki alternatif yang sesuai dengan kebutuhan kita.

Kami coba mengajukan tips dari dua kebutuhan anak yang essential, yaitu   “Keamanan” dan “Pengalaman” :

1. Menekankan “Kualitas” dan bukan “Kuantitas”
Artinya adalah orang tua tidak perlu kuatir bahwa sangat sedikitnya waktu bersama anak, akan menjadi masalah. Karena yang terpenting adalah bagaimana kualitas waktu bersama anak dan bagaimana anak merasakan cinta orang tua dalam wujud yang sesungguhnya (bukan sekedar ada bersama anak, melainkan hadir bersama anak).
Nah, beda antara “ada bersama anak” dengan “hadir bersama anak” terletak dari bahasa tubuh. Kita mampu mengendalikan kata-kata kita, namun, sulit untuk mengendalikan bahasa tubuh. Bila kita mengucapkan “cinta”, sedangkan pikiran kita adalah “jengkel”, maka, bahasa tubuh kita-pun akan cenderung kaku dan berjarak.

Sedangkan anak-anak adalah pengamat yang sangat bagus dalam menangkap pesan-pesan dari perilaku. Lebih mudah bagi anak-anak untuk mengamati perilaku daripada mendengarkan kata-kata, sehingga bila anak hanya diberitahu bahwa dia dicintai, namun, bahasa tubuh tidak menunjukkan hal itu, maka, sulit bagi anak untuk memahami dengan jelas.
Pelimpahan materi, seperti yang ditekankan oleh kebanyakan orang tua pada umumnya, hanya merupakan faktor penunjang, bukan faktor utama. Ada banyak kasus di mana keterlimpahan materi bukannya mendukung perkembangan jiwa anak, namun, justru membuat anak terjerumus.

2. Cintai anak secara positif
Untuk membuat waktu berkualitas menjadi maksimal di tengah jadwal orang tua yang padat, maka, selalu pastikan bahwa orang tua tetap menyediakan waktu untuk mendengarkan cerita sehari-hari anak, menyediakan hati untuk bermain bersama/ membacakan cerita/ menjalankan hobby bersama, serta yang paling penting adalah memeluk ketika anak sedih, bangga ketika anak bahagia.
Membuat anak menjadi merasa berharga sama pentingnya dengan menjaga keselamatan jiwanya. Kebanyakan kasus anak-anak bermasalah, ternyata bersumber dari orang tua yang bermasalah karena selalu mempermasalahkan sesuatu yang bukan masalah, akibat faktor rendah diri orang tua yang telah terpupuk sejak kecil dan tanpa disadari, ketika dewasa, dialihkan ke anak dengan tuntutan agar anak menjadi sempurna.
Maka, sebisa mungkin hindari kata-kata “kamu anak nakal”, “gak tau sudah susah payah orang tua besarkan dirimu”, “pemalas”, dll.
Bukan berarti kami menyarankan untuk memanjakan, justru sebaliknya, orang tua harus mendidik karakter anak untuk mandiri melalui kata-kata positif dan membesarkan hati bila anak mengalami kegagalan (seperti nilai jelek atau tidak sengaja memecahkan gelas, dan sebagainya) 

3. Percayai anak untuk turut bertanggung jawab
Artinya adalah memberi kepercayaan pada anak bahwa dia juga bisa diandalkan, walaupun serba terbatas, seperti misalkan membersihkan meja sehabis makan (walaupun tidak bisa bersih) dan sebagainya.
Banyak orang tua yang merasa anak masih terlalu kecil untuk melakukan itu semua sehingga anak cenderung terpenuhi semuanya oleh pembantu, atau mungkin orang tua mengerjakan sendiri karena tidak sabar dengan anak.
Dengan begitu, orang tua akan sekaligus mengajarkan anak tentang kemandirian, tanggung jawab, dan juga kepedulian terhadap rumah tangga.

4. Menggunakan Jasa Pengasuh yang terpercaya
Hal ini tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan oleh orang tua yang memiliki jadwal padat. Peran pengasuh sangat penting bagi terjaminnya keselamatan jiwa maupun terarahkannya perkembangan jiwa anak sejak usia dini. Pengasuh yang sulit dikendalikan atau dikontrol oleh orang tua akan memungkinkan munculnya dualisme kepemimpinan dalam diri anak, terutama bila orang tua berada di rumah.
Banyak kasus yang terjadi di mana anak lebih dekat dengan pengasuh daripada dengan orang tua, atau anak yang takut dengan pengasuh tapi tidak berani mengungkapkan karena orang tua jarang di rumah, ataupun anak yang mendapat pengaruh buruk dari pengasuh.

Dengan memastikan bahwa anak berada bersama dengan pengasuh yang memahami visi misi orang tua terhadap anak dan mampu memastikan tanggung jawabnya untuk keselamatan anak, maka, ibu-pun akan mampu bekerja dengan tenang.
Hal ini tentu selama point no. 1 mendapat perhatian yang utama sebagai dasar dari terbentuknya hubungan emosional yang efektif antara orang tua dan anak di tengah-tengah jadwal yang padat.

Demikian beberapa tips yang dapat kami sampaikan saat ini. Tentu, tidak tertutup kemungkinan ibu ada pertimbangan-pertimbangan lain sehingga ada alternatif yang dapat didiskusikan lebih lanjut. Dengan senang hati, kami mencoba mendukung sebaik mungkin.
Kami sangat meyakini bahwa “Kebahagiaan Orang Tua”, merupakan dasar dari tercapainya kebahagiaan anak. Bila orang tua bahagia, maka, akan terpancar dalam bahasa tubuh sehingga anak-pun akan turut bahagia. (sumber: www.psikoanak.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar