J angan panik ! Cobalah telusuri mengapa ia sampai omong begitu, lalu berilah pengertian. Jangan lupa, orang tua pun harus menjadi contoh.
"Ma, Mama mau relaksa, nggak
?" tanya seorang anak usia 4 tahun kepada ibunya. Spontan si ibu menjawab,
"Mau, dong." Tapi si anak malah terkikih seraya bilang, "Ih,
Mama mau rela diperkosa." Si ibu langsung terbengong-bengong, kaget!
Begitulah, tak jarang kita temui anak
usia prasekolah mengucapkan kata-kata yang bikin kita kaget bukan kepalang.
Entah itu omong kasar, tak sopan, atau bahkan omong kotor/jorok. Kita pun jadi
bertanya-tanya, dari mana si kecil bisa mendapatkan omongan tersebut. Bukankah
kita tak pernah mengajarinya berkata demikian?
Memang, tak ada satu pun orang tua
yang pernah mengajari anaknya omong kasar/kotor. Yang sering terjadi ialah
orang tua kadang tanpa sadar mengucapkannya. Misalnya, mengumpat di jalan raya
saat terjebak kemacetan atau memarahi pembantu dengan kata-kata kasar. Nah,
dari situlah salah satunya si anak "mengenal" ucapan-ucapan tersebut.
MENIRU
Menurut Dra. Rostiana,
pengucapan kata-kata kasar/kotor berkaitan dengan proses belajar anak.
"Anak usia prasekolah masih dalam tahap imitasi atau meniru. Mereka masih
dalam taraf mengasah aspek sensomotorik, lebih mengandalkan pikirannya pada apa
yang mereka amati dan rasakan tapi apa maknanya yang terkandung mereka belum
tahu. Jadi, proses belajarnya melalui imitasi," terangnya.
Dengan kata lain, anak mengucapkan
kata-kata tersebut karena meniru dari orang lain. Entah itu orang tua atau
anggota keluarga lain, tetangga, maupun televisi. Bahkan, dari teman-teman
sebayanya. "Biasanya jika dalam satu kelompok ada salah satu anak yang
dominan dan biasa omong kotor, maka yang lain akan meniru," tutur Pembantu
Dekan III Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara ini.
Tapi bagaimana dampaknya? "Tentu
ada, terutama bagi perkembangan moral si anak," ujar Rostiana. "Jika
orang tua membiarkan, maka anak akan merasa bahwa norma sopan santun adalah
sesuatu yang sangat wajar. Artinya, tak berlaku sopan pun enggak apa-apa."
Nah, akibatnya, setelah besar si anak bisa dengan mudah mengucapkan kata-kata
kasar atau memaki-maki orang, misalnya.
Selain itu, perkembangan bahasa si
anak juga bisa terhambat, apabila orang tua hanya melarang tanpa memberikan
penjelasan. "Anak akan merasa bahwa ia selalu dilarang ngomong .
Sedikit-sedikit enggak boleh. Akibatnya, si anak jadi tak berani banyak
berbicara. Tentunya ini akan menghambat perkembangan bahasa si anak."
Nah, agar perkembangan bahasa si anak
tak terhambat, anjur Rostiana, berilah penjelasannya mengapa ia dilarang omong
seperti itu. "Orang tua juga bisa memberikan alternatif, lain kali kalau
anak menghadapi situasi seperti itu sebaiknya ngomong dengan kalimat lain."
JAUHI SI TEMAN
Orang tua, ujar Rostiana, sebaiknya
jangan panik ketika anak ngomong kasar/jorok, "Tapi tetap harus
waspada. Coba ditelusuri, apakah anak mengerti apa yang ia omongkan." Bila
si anak belum mengerti, sebaiknya orang tua memberikan pengertian yang benar.
Tapi bila si anak ternyata sudah mengerti, maka orang tua harus hati-hati.
"Karena mungkin saja ada konsep yang belum tentu dipahami secara benar
oleh anak."
Staf pengajar di Fakultas Psikologi
Universitas Tarumanagara ini juga menekankan pentingnya pengawasan saat anak
bermain dengan teman-temannya, "Sehingga kalau ada anak yang omong kasar
atau kotor bisa diberi tahu."
Sering terjadi, orang tua melarang
anaknya bergaul dengan temannya yang suka omong kasar/jorok. "Mungkin
kalau hanya omong kasar, kita bisa bilang pada anak agar jangan meniru omongan
temannya itu. Tapi kalau anak yang suka omong jorok, seringkali juga memiliki
perilaku buruk. Misalnya, suka memukul. Biasanya anak-anak ini berasal dari
keluarga yang tidak harmonis dan tak mengutamakan pendidikan bagi
anaknya."
Karena itulah Rostiana setuju saja
bila anak dilarang bergaul dengan temannya yang suka omong jorok. "Cari
teman yang lain saja. Kita, kan, nggak bisa mengatasi anak orang lain. Jadi,
yang harus dilakukan adalah melindungi anak kita sendiri." Hal ini,
lanjutnya, juga merupakan sanksi sosial agar orang tua dari si anak tersebut
mendapatkan masukan bahwa anaknya ternyata tak punya teman. Sehingga si orang
tua bisa melakukan introspeksi diri mengapa sampai anaknya dijauhi teman.
CONTOH DAN KONSISTEN
Tentu bukan berarti orang tua harus
mengisolasi anak untuk menghindari anak meniru ucapan-ucapan kasar/kotor dari
luar. "Nggak bisa, kan, kita selalu menunggui anak. Lagipula ia
tetap saja bisa mendengar omongan tersebut, misalnya, dari teve. Ini juga akan
dipelajari anak dan akan me-reinforce perilaku anak untuk juga berlaku
sama," tutur Rostiana.
Yang bisa dilakukan adalah mengurangi
dengan memberi contoh di rumah. "Tentu dari orang tua, karena orang tua
adalah figur yang memiliki pengaruh lebih kuat bagi anak." Namun pengaruh
yang lebih kuat ni hanya bisa diperoleh apabila orang tua bersikap konsisten.
"Jadi, kalau kita ingin agar anak tidak omong kasar atau kotor, ya, kita
pun jangan memaki-maki orang."
Kalau tidak, jangan kaget dan heran apabila
si anak protes. "Anak juga punya hak untuk bersikap kritis, lo, sehingga
orang tua tetap bisa konsisten."
Memang, Rostiana mengakui, kadang
tanpa disadari orang tua pun berbicara kasar. Contohnya, mengumpat di jalan
raya tadi. Tapi ketika omongan kasar itu diucapkan oleh si anak, orang tua tak
bisa terima. "Tentu ini tidak fair . Nah, ini juga yang musti
dipertimbangkan orang tua." Berarti, mau tak mau kita harus berupaya agar
bisa selalu mengontrol diri kita, baik dalam berbicara maupun berperilaku.
Jangan lupa, ujar Rostiana, anak
merupakan cermin dari perilaku orang tua. "Baik buruknya anak merupakan
satu feed back bagi kita. Yang pertama diimitasi oleh anak adalah orang
tua. Jadi, bercerminlah dari anak."
BERI PENGERTIAN
Selain lewat tindakan atau contoh
nyata, anak juga harus diberi tahu secara lisan. "Hal ini bisa dilakukan
kapan saja dan di mana saja," ujar Rostiana. Misalnya, saat menonton teve
yang menayangkan adegan seseorang tengah memaki-maki orang lain, orang tua bisa
bilang, "Yang ini nggak boleh ditiru, ya."
Bisa juga memberikan pengertian
dengan menanyakan pada si anak. Misalnya, anak omong kasar pada temannya,
tanyakan, "Bagaimana rasanya kalau Kakak dikatain begitu?" Si
anak mungkin akan menjawab, "Sebel, Yah." Selanjutnya orang tua bisa
bilang, "Nah, makanya jangan ngatain begitu lagi, ya. Kalau teman
Kakak nggak mau main sama Kakak lagi, bagaimana?"
Dengan demikian si anak akan mengerti
karena dia bisa merasakan apa yang dirasakan oleh temannya kala ia mengucapkan
kata-kata kasar tersebut. "Cara ini lebih efektif karena kita tak bisa
menjelaskan pada anak usia prasekolah bahwa omongan tersebut tidak sopan. Si
anak nggak akan mengerti apa yang dimaksud dengan sopan. Jikapun dijelaskan, ia
juga tak mengerti." Lain halnya pada anak yang usianya lebih besar.
Meski begitu, lanjut Rostiana, anak
tetap harus diberikan pengertian secara lisan, "Karena akan mengasah otak
si anak untuk berpikir. Rasio mereka, kan, belum tumbuh. Namun dalam memberikan
pengertian tentunya harus disesuaikan dengan bahasa mereka, yakni hal-hal yang
konkret."
Jika di rumah orang tua sudah
memberikan banyak pengertian pada anak, menurut Rostiana, bisa terjadi si anak
sendiri yang akan bereaksi kala seorang temannya mengucapkan kata-kata kasar/kotor.
"Ada yang reaksinya dengan menarik diri dan tak mau mengajak temannya main
lagi." Ada pula yang akan menegur langsung si teman, "Ih, kamu nggak
boleh ngomong begitu."
Selain itu, jika orang tua memberikan
pengertian mana yang boleh dan tidak, mana yang baik dan buruk, maka ini akan
menjadi satu pola pendidikan bagi masyarakat kecil dimana anak terlibat semisal
lingkungan tempat si anak bermain dengan teman-teman sebayanya.
KATAKAN SEBUTAN ASLINYA
Yang juga penting, lanjut Rostiana,
janganlah orang tua menggunakan bahasa pengganti saat mengucapkan alat-alat
vital. Misalnya, alat kelamin lelaki disebut "burung", bukan penis.
"Sebab, bahasa pengganti
mengasumsikan hal tersebut sebagai sesuatu yang tabu yang tak boleh diucapkan
anak." Bahkan, tak jarang orang tua jelas-jelas melarang dan bahkan
memarahi dengan mengatakan, "Jangan bilang begitu, jorok!"
Akibatnya, si anak pun merasa bahwa
apa yang diucapkannya itu jorok dan tak boleh diucapkan."Hal ini juga akan
menghambat pola pendidikan seks bagi anak." Misalnya, anak perempuan yang
sudah beranjak dewasa tak mengerti apa itu menstruasi. "Dia mau cerita ke
ibunya takut karena sejak kecil dilarang ngomongin soal itu."
Karena itulah, anjur Rostiana, sejak
awal orang tua harus sudah mengajarkan sebutan yang benar untuk alat-alat vital
tersebut. "Orang tua juga jangan melarang atau memarahi, tapi berilah
penjelasan. Toh, ini bukan sesuatu yang harus dihindari anak. Alat-alat vital
itu, kan, merupakan bagian dari tubuhnya. Jadi, anak pun harus tahu." Lain
halnya bila si anak ngomong yang menjurus ke arah pornografi, "Nah, itulah
yang harus diluruskan oleh orang tua." (sumber:www.tabloidnova.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar